Menata Rasa
Semakin hari, ternyata aku belajar dengan sendirinya.
Bagaimana kebijaksanaan bisa membentuk sebuah kepercayaan, pun bagaimana suatu
kabar yang baik-baik saja ternyata tidak se”baik” itu. Juga yang awalnya hanya
menduga-duga ternyata benar adanya.
=.=
Awal tahun 2019..
Yang tahun lalu biasa saja, sekarang sudah luar biasa.
Yang terbaik sudah bertemu dengan yang terbaik.
Yang lewat sudah betulan lewat dan tidak pernah lagi
berbenturan.
Yang dilupakan sudah kembali menjadi kawan. Walaupun kadang..
Diri masih saja merasa tertawan.
Yang sekawan tiba-tiba berubah menjadi ~lebih dari
berkawan~.
Saat semuanya terus berjalan, ternyata berubah dalam
perjalanan. Begitupun aku.
=.=
Suatu hari yang tidak pernah ditentukan waktunya, aku menata
cerita. Menata rangkaian peristiwa, menata kumpulan pandangan juga asa. Ada hal
yang membuatku berubah. Tidak. Belum berubah, karena sekarang masih sedang “kutata”.
Setahun lebih aku membenci sebuah rasa. Aku mengaduh dan
gaduh berkali-kali. Semua proses yang kulalui harus melewati “sakit hati”.
Segalanya sulit diterima! Aku menjadi manusia egois. Ter-egois sepanjang hidup. Begitupun ketika mengetahui tentang mereka-mereka yang terus bersenandung dalam kata "cinta", seakan menggores dan terus menyingkirkanku untuk memiliki jarak lebih jauh darinya.
Tapi kali ini berbeda.
Setiap pertemuan di persimpangan yang sulit, sekarang aku
sudah tidak terlalu peduli, bahkan aku hanya memikirkannya sekali dua kali, tidak
lagi berkali-kali. Setiap pertanyaan sudah tidak difikirkan dengan amat serius,
karena masih banyak hal yang harus diurus.
Aku kira.. Ini tentang “dengan siapa” kita tumbuh.
=.=
Kemarin malam.. Ada diskusi yang aku sebenarnya malas
membahasnya.
Tentang pernikahan.
Kukira seusiaku belum tepat saja waktunya untuk berumah
tangga dan menjalin hidup bersama, berdua, selamanya, bersama dia yang dicinta.
Mendengar kata “cinta” saja aku sudah muak! Tak perlulah bicarakan itu
sekarang-sekarang. Aku hanya perlu merajut cerita dengan tanpa rasa “cinta”
dengan lawan jenis. Itu pun sudah cukup, tak usah dibawa bumbu-bumbu cinta. Aku
tak mau.
Tapi kenyataannya aku tidak bisa berkata hal itu. Aku tetap
mendengarkan dan “menerima” setiap kata yang temanku ucapkan. *walaupun masih
saja aku suka membantah.
Yang ia ceritakan adalah.. Tentang resolusi teman-teman
seumuranku yang sudah berani melangkah lebih maju. Menikah. Entahlah setiap
perkataanya aku menjadi flashback ke masa dimana aku sempat “menerima” hati
pria *yang kebetulan bukan hanya seorang, sehingga aku bisa membaca situasinya
dengan jelas.
Pernah ada laki-laki yang setahun lebih tua. Dalam sebuah
jalan perkenalan, entah mengapa ia hobi sekali mengirim alamat tentang bayi.
Kelucuannya selalu dibagikan padaku. Padahal kalau ingin aku katakan padanya “maksudnya
apa ya?” tapi aku tak bisa. Aku hanya mengaduh dalam diam dan berusaha
menghindarinya. Tanpa pernah tau apa tujuannya. Hingga sekarang.
Orang berbeda.
Memang tidak berkali-kali, tapi terhitung lebih dari 2x pria
itu mengatakan “lucu ya anaknya! Apalagi kalo kembar, dua”. Ingin lagi aku
katakan “Maksudmu apa?” tapi aku tak pernah mengeluarkannya, karena aku
menghargainya.
Dari kedua cerita itu, aku merasa. Aku tak butuh itu. Aku tidak ingin terus dibayangi "perkataan-perkataan semacam itu", kemudian aku tetapkan sebagai garis kuning di perjalanan. Pemikiranku, entahlah.. Aku tak ingin membahasnya. Yang jelas aku tidak membutuhkan itu, maka itu menjadi alasan mengapa aku menambah garis di perjalanan.
=.=
Sudah lebih dari beberapa waktu, aku terus menjadi orang
yang gemar memperhatikan. Setiap kata, tatapan, tindakan, pemikiran, perilaku
seseorang. Terutama laki-laki. Dan aku menemukan sesuatu yang akhirnya bisa
kuterima dengan baik. Dengan tanpa penolakan kasar seperti sebelum-sebelumnya.
Aku menjadi bijaksana. Dan aku mengerti akan penemuan ini.
Kalau dulu aku akan mengutamakan paras dibanding segalanya,
sekarang aku sudah tidak peduli!
Mungkin itu bisa masuk poin ke-tiga setelah yang
lain-lainnya. Yang jelas, aku selalu kagum pada sebuah pemikiran sederhana dan
bodo amat seseorang tapi tetap mengedepankan budi dan kesopanan. Masih memegang
dan melekat erat perilaku ketimuran juga tradisi budaya dengan hormat.
Ternyata benar, katanya.. Setiap rasa itu simpan saja. Tuangkan dalam doa. Hahhaha ini hal sederhana yang kita pun sudah khatam bukan? Sudah ada di luar kepala. Tapi kamu pasti mengerti, bahwa setiap kata bisa menjadi mantra istimewa tergantung kapan suasana dan oleh siapa diucapkannya,
Andai.. Andai.. Andai..
Kalau hati sudah terbuka, kebiasaan muncul. Melihat kekurangannya dan berusaha meluruskan supaya semakin "sempurna" versi diri. Kata "andai.." "andai.." dan "andai.." seakan menjadi senjata diantara garis-garis kuning. Jadi, tidak ada lagi ambisi untuk terlalu cepat memutuskan.
=.=
Saat sedang aku tata.. Hal yang entah ini baik atau buruk, yang jelas aku merasa tidak enak dan aneh. Suatu keharusan versi diri tiba-tiba diputus begitu ada "rasa" lain yang berusaha merubah cerita. Sejujurnya, lebih baik aku tidak tahu. Tapi masalahnya, kalaupun dikatakan atau tidak.. Aku merasa sudah tahu. Dasar wanita! Terlalu peka.
Ketidaksukaan harus tetap aku kalahkan, karena sebut saja kalau nanti aku luruskan paksa, tetap saja ujungnya akan berubah. Sudahlah..
Tak mau lagi berpanjang kata. Karena aku masih “menata rasa”.
=.=
Entah berawal darimana, aku merasa semakin bijaksana saja.
Tidak berkata sesuatu yang tidak dibutuhkan. Bertindak lebih hati-hati dan belajar lebih menghargai.
Belajar tentang rasa.. Aku merasa semakin dewasa. Terima kasih untuk yang telah mengajarkan mengenai pandangan dari sisimu, M.

No comments:
Post a Comment